GlobalHukrimPeristiwa

Konflik Pulau Rempang, Kajari Batam: Kami Siap Jembatani Komunikasi Dua Arah

133
×

Konflik Pulau Rempang, Kajari Batam: Kami Siap Jembatani Komunikasi Dua Arah

Sebarkan artikel ini

Jakarta – Presiden Joko Widodo mengakui bahwa permasalahan di Pulau Rempang disebabkan oleh komunikasi yang kurang baik. Menurutnya, telah ada kesepakatan bahwa masyarakat akan diberi lahan seluas 500 meter dan bangunan tipe 45.

“Itu adalah masalah komunikasi yang kurang baik. Saya kira jika warga diajak untuk berbicara dan diberikan solusi, karena sebenarnya sudah ada kesepakatan bahwa warga akan diberi lahan seluas 500 meter beserta bangunan tipe 45. Namun, ini tidak cukup dikomunikasikan dengan baik, sehingga masalah pun muncul. Besok atau lusa, Menteri Investasi Bahlil Lahadalia akan memberikan penjelasan, terutama tentang siapa yang akan mendapatkan penggantian ini,” ucap Presiden kepada wartawan.

Menyikapi hal ini, Kepala Kejaksaan Negeri Batam, Herlina Setyorini, menyatakan kesiapannya untuk menjembatani komunikasi antara pemangku kebijakan dan masyarakat setempat terkait permasalahan di Pulau Rempang. “Kami sebagai Kejaksaan Negeri Batam, khususnya Bidang Datun, siap menjadi penyambung komunikasi antara pemangku kebijakan dan masyarakat, serta sebaliknya,” ujar Herlina di Jakarta, Minggu (17/9/2023)

Herlina juga menyatakan keprihatinannya terhadap kondisi di Batam dan sejalan dengan pernyataan Presiden bahwa akar permasalahannya adalah kurangnya komunikasi yang baik. Namun, ia meminta agar semua pihak menahan diri dan tidak memperkeruh situasi dengan komentar-komentar yang bisa memicu kemarahan masyarakat.

Pakar Komunikasi Politik dari Universitas Pelita Harapan, Emrus Sihombing, mengatakan, “penyelesaian masalah Pulau Rempang tidak hanya dapat dicapai melalui komunikasi, tetapi juga melalui pemahaman terhadap isu hukum, ketidakadilan, dan ekonomi. Meskipun masalahnya kompleks, Emrus meyakini bahwa komunikasi yang baik dapat menjadi langkah awal dalam menyelesaikan konflik,” ucapnya.

“Namun, ia menyoroti bahwa proyek di Pulau Rempang tidak dimulai dengan komunikasi yang strategis, efektif, persuasif, dan partisipatif. Dia mengusulkan dialog, diskusi, dan pendengaran sebagai cara untuk memulai proyek pembangunan setelah komunikasi yang maksimal telah terjalin,” tambahnya.

“Masyarakat harus dianggap sebagai subjek pembangunan, dan pemerintah, perusahaan, dan penegak hukum harus bekerja sama dalam menangani berbagai aspek, termasuk budaya lokal dan keadilan, untuk mencapai kesepakatan yang saling menguntungkan,” tutupnya.

Tinggalkan Balasan

Alamat email Anda tidak akan dipublikasikan. Ruas yang wajib ditandai *